Kamis, 24 Maret 2011

Indonesia yang tak Ramah dengan Pedestrian



Tiga alasan utama kenapa saya suka berjalan kaki:

1. saya nggak punya mobil
2. saya nggak bisa naek motor
3. saya cenderung endut, kalo nggak rajin jalan kaki, badan saya bisa bengkak kaya balon.

Tapi sayangnya, negara ini sangat tidak ramah dengan pejalan kaki. Hampir di semua ruang publik pejalan kaki tidak diberikan fasilitas memadai untuk berjalan. Ini beberapa alasan kenapa sangat tidak dianjurkan berjalan kaki di Indonesia :

1. Trotoar dipake pedagang kaki lima sehingga hanya menyisakan sedikit saja celah untuk berjalan, itupun kalo ngga diserobot pengemudi sepeda motor yang pengen nyalip jalan. Kalo kita pake bahu jalan, ujung-ujungnya malah diklakson atau bahkan ditabrak.

2.Polusi udara merajalela, semua senang buang emisi gas kendaraan bermotor mereka di jalan. Bukannya sehat, jalan kaki malah bikin bengek.

3. Kendaraan umum luar biasa banyaknya, dan kerap meneror kami yang gemar berjalan kaki untuk naik kendaraan mereka, entah itu dengan bunyi klakson (klakson seharusnya hanya dipakai pada saat darurat aja, bukan di sembarang tempat atau sembarang kesempatan, berisik tau!!), acungan jari telunjuk (just reminds me with Jacko) atau bahkan ditungguin di depan gang rumah sampe kita nggak enak sendiri dan mau nggak mau naek kendaraan itu daripada ngeliat tatapan jutek para penumpang di dalamnya yang dalam hati pasti menyumpah serapah: “sialan, udah ditungguin dari tadi bukannya naek”. Padahal kita udah jelas-jelas geleng-geleng kepala atau menggerak-gerakkan tangan tanda tak mau naik.

4. Satu lagi nih.... opini publik bahwa pejalan kaki kerap kali disamaratakan dengan orang nggak punya duit alias kere atau hemat (baca: pelit). Pernah nih waktu pulang kantor, pas mau balik ke kostan (dengan jalan kaki tentu saja) seorang teman dengan baik hatinya nawarin naek ojek bareng :

Teman saya : “ayo mbak, pulang bareng aku aja. Aku bayarin deh”

Saya (dengan senyum menderita): “ duluan aja, aku mau beli makan dulu”

Sori-sori jek ye...saya jalan kaki bukan karena nggak punya duit, tapi sayang aja menghabiskan 2 ribu rupiah sekali bonceng (berarti 4000 PP) untuk sebuah perjalanan yang kalo ditempuh dengan kaki hanya memakan waktu nggak lebih dari 10 menit. Coba kita berhitung :

1 hari :Rp 4000

25 hari kerja : Rp 4000 x 25 = 100.000

1 tahun kerja ; 100.000 X 12 = Rp 1.200.000

Keliatannya dikit, tapi kalo dikalkulasi secara menahun jadi banyak kan??

Jumat, 18 Maret 2011

Good Conversation with my dad....

Suatu hari seorang gadis sedang melakukan percakapan serius dengan bapaknya
tentang pria...



Bapak : “ sebaik-baiknya pria adalah mereka yang menghargai dan menghormati wanita sebagaimana mereka menghormati dan mengasihi ibunya”

Saya : ‘kalo aku ketemu cowok yang nggak kayak gitu gimana pak? Kalo ngomong suka seenak udelnya aja, nganggep remeh perempuan, suka merendahkan gimana?”

Bapak :” ah buang saja pria macam itu ke laut ndhuk. Karena wanita yang baik cuma untuk pria yang baik. Dia ndak baik buat kamu”

Saya : “ kalo pria kekanak-kanakan gimana pak’e? Terkadang dia bisa baik sekali sama aku, tapi kadang bisa jahat juga”

Bapak : “Bukan umur yang membuatmu bertumbuh dewasa, tapi keadaan yang memaksamu untuk menjadi demikian, dan kalau kamu tak juga dewasa di usiamu yang makin menua, mungkin kamu terlalu memanjakan dirimu sendiri. Kamu mau mengasuh bayi tua di sisa umur kamu? Ndak tho?”

Saya : “cowok plin-plan?”

Bapak :”cowok plin-plan itu memutuskan jenis kelaminnya saja bingung,Laki-laki itu harus tegas, kalo mencla-mencle namanya banci. Suruh dia jadi tegas dulu baru temui kamu lagi”

That’s why i love my dad so much....he knows what the best things for his only daughter

Minggu, 06 Maret 2011

Growing Up With Harry

Di tengah kecemasan sebagian besar pecinta film Indonesia bahwa kita tidak akan pernah bisa menyaksikan akhir kisah Harry potter di layar lebar, saya jadi ingin mengenang saat pertama kali saya berkenalan dengan seorang penyihir muda yang kemudian mengajarkan banyak hal, termasuk di antaranya adalah berani untuk membaca buku tebal ratusan halaman...


Saya kenal Harry Potter bertahun lalu saat masih putih abu-abu tahun pertama, Tahun 2000. Saya pertama melihatnya di bawah meja, saat seorang teman sekelas diam-diam membacanya di tengah jam pelajaran. Saya tak lantas jatuh hati padanya. Rasa penasaran saya baru terlecut saat saya membaca resensi buku ini di Kompas. Siapa JK Rowling yang tiba-tiba begitu ramai dibicarakan??

Saya pergi ke Gramedia, nekat menghabiskan 25 ribu rupiah uang jajan saya (yang sangat banyak bagi seorang anak SMA kelas satu tahun 2000) untuk membeli sebuah buku yang bahkan saya tak tahu tentang apa. Harry Potter and the Sorcerers Stone, judul lengkap buku yang sudah resmi jadi milik saya. cover depannya seorang anak laki-laki kecil naik sapu dan menangkap sebuah bola emas terbang. Halaman belakangnya bergambar kakek tua memakai jubah ungu berbintang-bintang dengan janggut luar biasa panjang yang di kemudian hari saya kenal sebagai Albus Percival Dumbledore.

Bab-bab pertama buku ini terasa aneh bagi saya. Saya tak langsung menyukai Harry at the first sight. Saya curiga Harry ini anak keturunan setan atau apalah. Terlebih setelah Hagrid datang dan memperkenalkan pada Harry (dan juga saya) tentang sebuah dunia bernama dunia sihir. Saya baru menghilangkan semua rasa curiga saya pada Harry setelah dia datang ke Hogwarts, berkenalan dan lantas bersahabat dengan Ronald Weasley dan Hermione Granger. Harry sedikit banyak adalah kami juga para pembacanya. Dia memang pahlawan dunia sihir karena mampu memusnahkan Voldemort, tapi toh tidak membuatnya jadi penyihir jenius yang dengan seketika mampu memahami semua pelajaran di Hogwarts, dia unggul di beberapa pelajaran tapi juga lemah di beberapa yang lain. Dia punya guru idola sekaligus punya guru yang sangat dia benci. Kami juga mengalaminya kan??
Tahun-tahun berlalu, saya lulus SMA. Saya masuk kuliah. Lulus, lantas bekerja. Buku-bukunya yang kedua dan seterusnya makin tebal (dan makin mahal) tapi nekat saya bawa ke asrama kampus, sembunyi-sembunyi saya bawa dalam tas saat saya berangkat dari rumah menuju kampus baru saya. Dia berdampingan dengan buku kalkulus, dan mikroekonomi yang tak kalah tebal di rak meja belajar.

Film pertamanya rilis tahun 2001. Menampilkan sosok-sosok dalam buku menjadi figur nyata tiga dimensi. Jadilah hingga kini saat kembali membaca bukunya Harry menjadi Daniel Radclife, Ron identik dengan Rupert Grint dan Hermione secantik Emma Watson.

Saya tumbuh bersama Harry. Dia naik kelas, begitupun saya. Dia jatuh cinta, saya juga. Dia berkabung saat Sirius Black dan Dumbledore meninggal, saya menangis sesenggukan karenanya. Dan tibalah waktunya bagi saya untuk mengucapkan selamat tinggal pada Harry saat saya menamatkan halaman terakhirnya di buku ketujuh, Harry Potter and the Deathly Hollows, Januari 2008. Hanya butuh lima hari untuk menamatkan ke 1080 lembar halamannya. Rasanya janggal dan kosong. Rasanya tidak ada lagi yang perlu saya tunggu. Seperti melepas seorang sahabat yang akan memulai hidup barunya di tempat lain yang sangat jauh yang tak akan mungkin saya jangkau (JK Rowling memang tidak akan pernah melanjutkan buku ini).

Kadang-kadang, sampai saat ini saya masih merindukan Waiting Moments saat saya menunggu hari (selalu hari minggu) dimana saya akan pergi ke toko buku tepat jam 10 pagi untuk membeli Harry Potter terbaru. Hari-hari singkat yang saya habiskan untuk menamatkan bukunya (tak pernah lebih dari seminggu) dan hari-hari selanjutnya yang saya gunakan untuk membaca ulang untuk kesekian kalinya.

Saya tak tahu apa saya akan pernah merasakan lagi sensasi menemukan buku seperti saat saya menemukan Harry, ketujuh bukunya akan tetap saya simpan. Saya akan pinjamkan pada orang-orang yang menghargai karya ini sama seperti saya menghargainya. Saya akan perkenalkan Harry pada anak-anak saya suatu hari nanti, dan tahu bahwa mereka juga akan menyayangi Harry seperti saya menyayanginya.