Jumat, 01 April 2011

Mengapa Kamu Lantas Berselingkuh?


Tertarik untuk nulis ini gara-gara baca bukunya Indra Herlambang “Kicau Kacau”. Di salah satu judulnya dia bilang karena ada proses kimia yang berlangsung saat seorang pria bertemu dengan wanita dan sayangnya that chemistry moment nggak seketika hilang saat kamu menikah dan hal itu yang menyebabkan married woman/man (how to say it in bahasa ya? Pria/wanita menikah?? Kok janggal ya?) kemudian bisa jatuh hati lagi berkali-kali setelah menikah dengan orang-orang yang berbeda.

Jadi kalo memang reaksi kimia itu nggak berakhir saat kamu bahkan sudah menikah apakah hal itu lantas melegalkan perselingkuhan?? Oke enyahkan jauh-jauh masalah moral dan agama, toh banyak orang-orang alim dan ngakunya bermoral yang ternyata hobi selingkuh. Saat kamu menikah seharusnya kamu sudah siap berkomitmen pada diri sendiri untuk setia hanya pada satu pasangan saja. Tidak ada orang yang perlu menilai kemampuan kamu untuk melaksanakan komitmen itu kecuali diri kamu sendiri. Dan saat kamu berselingkuh kemudian berkaca di depan cermin, really see yourself deep inside, sadarkah kamu bahwa kamu telah mengkhianati diri kamu sendiri? Tidak ada orang yang lebih buruk daripada mereka yang berkhianat pada diri sendiri.

Satu lagi yang mengganggu pikiran saya. Sampai sebatas mana kamu dikatakan sedang berselingkuh atau tidak. Saya mengenal dua orang pria dan wanita. Si wanita sudah menikah, muda, cantik rupawan (sebut saja namanya Kirana), si pria sudah pula berkeluarga dengan istri baik hati dan anak-anak yang lucu (kita panggil dia Gilang). Suatu hari saya menemukan foto Kirana di laci Gilang (mana ada perempuan yang hanya berteman biasa saja dengan seorang pria sampai memberikan fotonya yang paling ayu, kalau saya sih nggak pernah) dan...oh ya sebelum itu kami pernah pergi ramai-ramai, dan saya secara tak sengaja melihat dari kaca etalase toko, mereka berdua yang jalan di sebelah saya berpegangan tangan, hanya dalam hitungan satu-dua detik, but it means a lot (buat saya yang radar sok tahunya sensitif sekali). Tak lama setelah itu saya kerap kali menemukan si pria sedang berbicara di telepon dengan raut wajah dan nada bicara yang berbeda dengan jika dia bicara dengan sang istri. Selalu di rentang jam yang sama setiap harinya. Dua kali saya menemukan nama Kirana dalam daftar panggilan tak terjawab ponsel Gilang. (anyway...ini real story lho, cuma ada beberapa segmen cerita yang saya belokkan tanpa mengubah esensi kisah ini )

Saya sering kemudian bertanya-tanya pada diri sendiri? Apakah ini yang dinamakan berkhianat terhadap pasangan masing-masing? Entahlah, saya tidak tahu sampai sejauh mana batasan berselingkuh. Saya belum pernah (dan jangan sampai pernah) berselingkuh. Jika itu benar terjadi saya sungguh menyayangkan kedua orang yang saya kenal dengan baik. Saya menyayangkan si pria karena dia pernah menjadi gambaran sempurna saya tentang sosok suami dan ayah yang baik. Saya menyayangkan si wanita karena usianya masih begitu muda. Seumur adik saya. Pada saat saya seumur dia, tak pernah terlintas di pikiran untuk “berteman” dengan pria yang jauh lebih tua. Saya belajar , saya bermain , saya bersuka cita menikmati usia-usia itu. Saya menyayangkan keluarga yang mereka miliki. Betap akan sangat tersakiti hati keluarga keduanya. May they won’t ever know it.

Ya sudahlah, kenapa pula saya harus memusingkan mereka? Toh mereka sendiri menikmati hubungan itu, dan tak merasa perlu untuk pusing-pusing seperti saya. Saya hanya berharap, suatu hari nanti, saat saya sudah siap berkomitmen pada diri sendiri dan suami, reaksi kimia pada orang yang salah itu tidak akan pernah mampu untuk membuat saya mengkhianati diri sendiri. I dont want to feel bad to myself. Mudah-mudahan chemistry saya dengan suami nanti akan mampu membuat saya jatuh cinta berkali-kali dengan hanya dia. Semoga...